• Breaking News

    Thursday, June 19, 2025

    Suriah Diledek karena Bungkam, Israel dan Iran Saling Serang di Langitnya


    Damaskus kembali diledek oleh berbagai media karena menjadi saksi bisu konflik besar di Timur Tengah. Kali ini, bukan karena keterlibatan langsungnya, melainkan karena langitnya dipakai sebagai jalur serangan rudal antara dua kekuatan besar: Iran dan Israel. Di tengah ketegangan yang memuncak, pemerintah Suriah tetap memilih diam, membiarkan pertanyaan demi pertanyaan menggantung tanpa jawaban.


    Ketika pesawat-pesawat Israel dengan leluasa tanpa izin menggunakan udara Suriah untuk menyerang Iran pada 14 Juni 2025, dan Iran membalas dengan peluncuran rudal jarak jauh yang juga melintasi Damaskus, Suriah tak mengeluarkan satu pun pernyataan resmi.


    Presiden Ahmed al-Sharaa seolah menutup mata dan telinga, memilih diam dalam konflik yang bisa dengan mudah menyeret negaranya ke medan perang baru.


    Sikap diam ini dinilai sebagai bentuk realisme brutal. Suriah masih bangkit dari kehancuran akibat perang saudara lebih dari satu dekade. Ekonomi remuk, infrastruktur rusak, dan militer tak lagi sekuat dulu, bahkan sudah tak punya sistem pertahanan udara karena sudah dihancurkan Israel pasca jatuhnya Bashar Al Assad. Berpartisipasi dalam perang besar melawan Israel, apalagi bersama Iran, dinilai sebagai langkah bunuh diri yang tak rasional di tengah situasi dalam negeri yang belum pulih.


    Sejumlah analis menyebut strategi ini sebagai "berjalan di atas tali"—Suatu bentuk keseimbangan yang berisiko tinggi. Di satu sisi, Suriah memiliki 'kehormatan' dan harga diri yang harus dijaga terutama soal kedaulatan. Namun, di sisi lain, keterlibatan aktif dalam konflik akan menjadi alasan baru bagi Israel untuk memperluas serangan, sesuatu yang jelas tidak bisa ditanggung oleh Damaskus yang saat ini berada dalam jangkauan jarak tembak artileri paska Israel menguasai Quneitra


    Samir Abdullah, pakar hubungan internasional dari Universitas Damaskus, mengatakan bahwa Suriah sadar akan keterbatasannya. “Militer kita tidak sanggup menghadapi konfrontasi langsung, apalagi dengan kekuatan udara Israel yang kerap menyerang wilayah kita tanpa perlawanan berarti,” ujarnya. Dalam situasi seperti ini, strategi bertahan dan menunggu momentum dinilai lebih aman.


    Sumber diplomatik Barat di Beirut menyebut bahwa Rusia juga ikut mendorong Suriah untuk tetap netral. Bagi Moskow, menjaga kestabilan Damaskus lebih penting daripada menariknya ke konflik baru yang bisa memperumit agenda geopolitik Rusia sendiri, khususnya di kawasan Mediterania Timur. Apalagi pasca jatuhnya Assad, posisi pangkalan militer Rusia kini menjadi topik yang harus dibicarakan.


    Namun, keheningan Suriah ini bukan kali ini. Dulu di era Bashar Al Assad, Suriah juga pernah diam atas pembantaian Israel ke Gaza. Meski hubungan Suriah dengan Hamas memang renggang, banyak yang bertanya mengapa Damaskus juga diam terhadap pembantaian terhadap Hizbullah dan warga Lebanon, yang selama ini dianggap sekutu regional terdekat.


    Saat itu memang Assad sedang berada dalam dilema antara memilih faksi Rusia atau faksi Iran-Hizbullah dkk. Rusia menekan Assad untuk segera membayar utang atas jasa mempertahankan kekuasaanya. Di pihak lain, Iran juga mengaku telah mengeluarkan 30 miliar dolar AS lebih selama selama mendukung rejim. 


    Di waktu bersamaan, baik Rusia dan Iran juga menekan Assad untuk membubarkan milisi swastanya karena pos-pos pemerikasaan di luar kendali Rusia dan Iran mengganggu kelancaran investasi ekonomi kedua negara.


    Celah itu kemudian dimanfaatkan lawan politik untuk memperlemah Assad termasuk oleh Israel dkk.


    Sejak era Hafez al-Assad, Suriah memang dikenal lihai memainkan diplomasi penuh perhitungan. Kebijakan “seni bermain di celah sempit” menjadi doktrin utama politik luar negerinya. Tidak sepenuhnya menentang, tetapi juga tidak secara terbuka berpihak. Pendekatan ini telah menyelamatkan rezim dari berbagai krisis, namun juga menimbulkan kecurigaan dari kalangan pro-perlawanan.


    Sementara itu, di lapangan, Israel mulai menunjukkan ambisi barunya di perbatasan Golan. Janji lama Tel Aviv untuk hanya sementara menduduki Quneitra pasca keruntuhan rezim Bashar al-Assad kini tampaknya mulai dilupakan. Israel mengerahkan alat berat dan buldoser ke kawasan hutan al-Shahar dekat Jabata al-Khashab dan mulai meratakan tanah secara besar-besaran.


    Operasi perataan tanah ini dikabarkan oleh Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mencakup area hutan seluas lebih dari 50 hektare, yang dipenuhi pohon pinus dan ek hutan berusia puluhan tahun. Kawasan ini memiliki nilai ekologis tinggi, namun kini rusak akibat intervensi militer Israel tanpa adanya reaksi diplomatik dari Damaskus.


    Langkah ini bukan hanya soal keamanan, tetapi juga sinyal kuat bahwa Israel berencana menancapkan kehadiran permanennya di wilayah itu. Sejumlah analis menilai ini sebagai pendudukan bertahap yang dilakukan dengan diam-diam namun pasti, sembari menunggu perhatian dunia teralihkan oleh isu Gaza atau Iran.


    Absennya reaksi resmi dari Suriah terhadap penghancuran lingkungan dan pelanggaran kedaulatan yang terjadi di perbatasan membuat sebagian pihak mempertanyakan keberadaan pemerintahan transisi saat ini. Apakah mereka benar-benar memiliki kendali atas wilayahnya, atau hanya menjadi simbol administratif tanpa kekuatan nyata?


    Bagi sebagian besar warga Suriah, diamnya pemerintah menghadapi agresi Israel adalah pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan. Namun, bagi elit politik di Damaskus, langkah ini mungkin dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam kondisi ketidakpastian geopolitik saat ini.


    Di mata komunitas internasional, Suriah kini menjadi panggung diam yang menyaksikan dua raksasa regional saling serang. Langit Damaskus menjadi jalur peluncuran rudal, dan rakyatnya hanya bisa berharap agar api perang tak menjalar ke daratan mereka.


    Dilema Suriah tak mudah. Antara kesetiaan terhadap sekutu dan insting bertahan, antara martabat nasional dan kekuatan militer yang lemah. Pilihan diam mungkin terlihat lemah, tapi dalam kondisi tertentu, itu bisa jadi satu-satunya bentuk kebijaksanaan yang masih tersedia.


    Namun, waktu terus berjalan, dan tekanan geopolitik tidak akan memberi ruang diam selamanya. Suriah akan dipaksa menentukan arah: tetap menjadi penonton atau akhirnya memilih panggungnya sendiri dalam drama Timur Tengah yang tak berkesudahan ini.


    Dibuat oleh AI

    No comments:

    Post a Comment

    loading...

    Jepang

    Belanda

    Spanyol