• Tuesday, March 25, 2025

    Trauma dan Reruntuhan: Mengapa Pengungsi Suriah di Idlib Belum Kembali ke Rumah

    Di tengah hamparan tenda dan bangunan darurat di pedesaan Idlib, jutaan pengungsi Suriah hidup dalam ketidakpastian. Harapan untuk kembali ke rumah mereka, yang hancur atau diratakan oleh perang, semakin pudar. Trauma mendalam dan kenyataan pahit menghalangi langkah mereka untuk kembali.

    Banyak rumah di kota-kota yang pernah ramai kini hanya menyisakan puing-puing. Serangan udara dan pertempuran sengit telah menghancurkan infrastruktur, meninggalkan bekas luka yang dalam pada lanskap dan jiwa penduduknya. Bagi sebagian besar pengungsi, kembali ke rumah berarti kembali ke reruntuhan, tanpa harapan untuk membangun kembali.
    Selain kehancuran fisik, trauma psikologis juga menjadi penghalang besar.

    Pengalaman perang yang mengerikan, kehilangan orang-orang terkasih, dan hidup dalam ketakutan telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan. Banyak yang merasa tidak aman untuk kembali ke lingkungan yang sama di mana mereka mengalami kekerasan.

    Kondisi ekonomi yang sulit juga memperparah situasi. Sebagian besar pengungsi hidup dalam kemiskinan, bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Membangun kembali rumah mereka membutuhkan sumber daya yang tidak mereka miliki.

    Situasi ini diperburuk oleh kebijakan rezim Assad dahulu yang bertujuan untuk mengubah demografi wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oposisi. Lahan-lahan yang dulunya milik warga sipil lalu dikuasai oleh loyalis rezim dan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Iran.

    "Harga tanah jauh di luar jangkauan sebagian besar industrialis," kata seorang sumber lokal beberapa tahun lalu, "rezim jelas berniat mengusir mereka dari daerah tersebut dengan persyaratan yang mustahil."

    Warga sipil yang dievakuasi dijanjikan kompensasi finansial untuk tanah mereka.

    Namun, banyak yang terpaksa menjual properti mereka dengan harga murah karena takut kehilangan segalanya. Rezim memanfaatkan situasi ini, membeli properti dengan harga murah dan menjualnya kembali ke institusi rezim.

    Penghancuran seluruh distrik al-Qaboun menjadi contoh nyata dari perubahan demografis yang sedang berlangsung.

    Distrik tersebut akan dibangun kembali sesuai dengan rencana rezim, hanya dihuni oleh pendukung rezim. Perusahaan-perusahaan Iran-Suriah terlibat dalam proyek ini, menunjukkan bahwa faksi-faksi yang berafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) juga akan ditempatkan di sana.

    Pemerintah baru Suriah saat ini di bawah Presiden Ahmad Al Sharaa menghadapi tantangan besar dalam mengatasi perubahan demografis yang dilakukan rezim Assad. Mereka harus mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan hak-hak properti warga sipil, memastikan transparansi dalam proses rekonstruksi, dan mencegah diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu.

    Pemerintah baru juga harus bekerja sama dengan komunitas internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi dan mendukung upaya rekonstruksi. Mereka harus memastikan bahwa pengungsi dapat kembali ke rumah mereka dengan aman dan bermartabat.

    Selain itu, pemerintah baru harus mempromosikan rekonsiliasi nasional dan mengatasi akar penyebab konflik. Mereka harus membangun masyarakat yang inklusif dan adil, di mana semua warga negara memiliki kesempatan yang sama.

    Tantangan-tantangan ini sangat besar, tetapi mereka tidak dapat dihindari. Masa depan Suriah bergantung pada kemampuan pemerintah baru untuk mengatasi warisan konflik dan membangun masyarakat yang stabil dan makmur.

    Pengungsi Suriah di Idlib dan wilayah lainnya membutuhkan harapan. Mereka membutuhkan kepastian bahwa mereka akan memiliki masa depan di tanah air mereka. Mereka membutuhkan keadilan.

    Masyarakat internasional harus terus menekan rezim Assad untuk menghentikan kebijakan perubahan demografisnya. Mereka harus mendukung upaya-upaya untuk mengembalikan hak-hak properti warga sipil dan memastikan bahwa pengungsi dapat kembali ke rumah mereka.

    Masa depan Suriah bergantung pada kemampuan dunia untuk bertindak. Jika tidak, trauma dan reruntuhan akan terus menghantui generasi-generasi mendatang.

    loading...