• Breaking News

    Friday, June 20, 2025

    Apakah Rusia dan Turkiye akan Biarkan Iran Diinvasi Israel, AS dkk?


    Invasi terhadap Iran oleh koalisi Israel, Amerika Serikat, dan sekutu-sekutunya akan menjadi salah satu momen paling bergejolak dalam sejarah modern Timur Tengah. Namun seperti halnya krisis di Suriah, pertanyaan besar yang muncul bukan hanya tentang siapa yang menyerang, tetapi siapa yang akan memediasi, siapa yang akan menjamin stabilitas, dan siapa yang diam-diam mengincar bagian dari wilayah Iran demi kepentingannya masing-masing.

    Dalam skenario ini, Iran kemungkinan besar akan segera meminta dukungan dari negara-negara yang sebelumnya menjadi mitranya di berbagai krisis regional. Rusia hampir pasti akan mengambil peran strategis. Bukan hanya karena hubungan erat Moskow-Teheran dalam isu Suriah dan kerja sama energi, tetapi juga karena Rusia tidak akan tinggal diam melihat kekuatan Barat memperluas pengaruhnya ke jantung kawasan Kaspia dan Teluk.

    Namun, posisi Rusia bisa ambigu. Sebagaimana yang terjadi di Suriah, Rusia bisa menawarkan diri sebagai mediator perdamaian sekaligus menjamin zona aman di wilayah-wilayah yang strategis, terutama di sepanjang perbatasan utara Iran dan Laut Kaspia. Moskow akan mendesak gencatan senjata cepat dan memposisikan dirinya sebagai pelindung minoritas atau aset-aset penting, demi membuka jalan bagi kehadiran militernya.

    Sementara itu, Turki (Turkiye) akan bergerak dengan kepentingan yang berbeda. Dalam konflik Suriah, Ankara memainkan dua sisi: sebagai anggota NATO dan sekaligus sebagai kekuatan regional yang ingin menghindari kekacauan terlalu dekat dengan perbatasannya. Dalam konteks Iran, Turki bisa saja menawarkan zona aman di wilayah-wilayah Iran barat yang berdekatan dengan komunitas Kurdi, atas dalih mencegah eksodus pengungsi dan memerangi separatisme.

    Namun tidak bisa diabaikan bahwa Turki juga bisa memanfaatkan krisis ini untuk memperkuat pengaruhnya atas komunitas Turkic seperti Azeri di Iran Barat Laut. Seperti yang terjadi di Suriah, upaya Turki membentuk zona penyangga akan dibalut alasan kemanusiaan, meski faktanya bisa membuka jalan bagi pengaruh jangka panjang.

    Pertanyaannya kemudian: apakah kedua negara tersebut akan menjadi mediator netral, atau justru mengambil bagian dari konflik demi kepentingan strategisnya masing-masing? Jika melihat rekam jejak di Suriah, besar kemungkinan mereka akan melakukan keduanya: menjadi penengah di meja diplomasi sambil membangun posisi militer di lapangan.

    Amerika Serikat dan Israel kemungkinan besar tidak akan menempati wilayah secara langsung, tapi akan mendorong terbentuknya pemerintahan transisi atau otoritas alternatif di Teheran. Sama seperti upaya mendirikan Dewan Nasional Suriah dulu, kekuatan Barat akan mencari aktor lokal yang bisa dijadikan perpanjangan tangan, sembari terus menghancurkan struktur militer dan intelijen Iran agar tidak bangkit kembali.

    Jika skenario ini terjadi, wilayah Iran bisa terbagi menjadi beberapa zona pengaruh. Wilayah selatan dan barat daya—yang kaya minyak dan dekat Teluk—bisa berada di bawah pengawasan koalisi Barat. Wilayah utara dan barat laut bisa dimasuki Rusia dan Turki atas nama stabilitas. Sementara wilayah timur dan tengah yang lebih gurun, bisa menjadi arena kekacauan seperti provinsi-provinsi Suriah yang tak terkontrol.

    China, meskipun tidak terlibat langsung secara militer, akan memainkan peran penting dalam diplomasi pasca-konflik. Sebagai investor besar di sektor energi Iran, Beijing akan menuntut agar jalur transportasi dan minyak yang menuju ke Asia tetap aman. China juga bisa menggunakan konflik ini untuk memperkuat argumen tentang pentingnya arsitektur keamanan non-Barat di kawasan.

    Dalam semua skenario ini, yang paling menderita tentu rakyat Iran. Sama seperti warga Suriah, Libya, dan Irak sebelumnya, masyarakat sipil akan menjadi korban utama. Infrastruktur akan hancur, ekonomi lumpuh, dan perpecahan etnis atau sektarian bisa dimanipulasi oleh berbagai aktor demi keuntungan politik masing-masing.

    Pertahanan sipil dan kekuatan seperti Basij mungkin akan berupaya mempertahankan ketahanan nasional, namun kemampuan mereka melawan kekuatan koalisi udara, cyber, dan darat dari AS-Israel akan sangat terbatas jika tidak didukung oleh sistem pertahanan terpadu.

    Lebih jauh lagi, skenario ini menunjukkan betapa lemahnya sistem hukum internasional dalam mencegah kehancuran sistematis terhadap negara yang ditarget oleh kekuatan besar. Rusia dan Turki bisa menjadi jaminan keamanan, tapi juga sekaligus pengambil keuntungan. Barat mengusung demokrasi dan HAM, tetapi menggunakan kekuatan militer untuk mengubah rezim.

    Dari perspektif geopolitik, invasi ke Iran bukan hanya tentang menghancurkan program nuklir atau menumbangkan pemimpin spiritualnya, tapi tentang mengubah struktur kekuasaan kawasan, mengamankan akses energi, dan melemahkan aliansi anti-Barat seperti Poros Resistensi.

    Jika negara-negara seperti Rusia dan Turki benar-benar ingin menjadi penengah damai, mereka harus bertindak lebih awal sebelum konflik skala penuh pecah. Tetapi jika mereka hanya menunggu peluang untuk berebut pengaruh, maka nasib Iran akan seperti Suriah—terpecah, dijarah, dan dijadikan pion dalam permainan besar tatanan dunia baru.

    No comments:

    Post a Comment

    loading...

    Jepang

    Belanda

    Spanyol