• Breaking News

    Friday, June 20, 2025

    Rakyat Marah, Eks Aparat Daur Ulang di Suriah


    Di tengah harapan akan masa depan baru Suriah yang bebas dari kekerasan dan represi, keputusan pemerintah transisi untuk mengangkat kembali mantan aparat keamanan ke posisi-posisi penting justru memicu kemarahan publik. Sebuah unjuk rasa pecah di kawasan Rukn al-Din, Damaskus, dengan pekikan "Ya lil 'aar, ya lil 'aar... syabiha saru tsuwwar!" yang artinya "Sungguh memalukan, para algojo kini jadi pejuang!". Protes ini menjadi simbol kekecewaan mendalam masyarakat terhadap apa yang mereka nilai sebagai pengkhianatan terhadap semangat revolusi.

    Para demonstran menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap mendaur ulang wajah lama rezim Assad ke dalam sistem baru. Salah satu sorotan tertuju pada penunjukan mantan petugas keamanan dan milisi pro-rezim, yang dahulu dikenal represif, ke posisi administratif dan sosial strategis. Langkah ini dinilai tidak hanya menyakiti keluarga para korban, tetapi juga mengancam legitimasi proses rekonsiliasi yang sedang berlangsung.

    Masyarakat bertanya-tanya mengapa pemerintah tidak merekrut figur-figur baru dari kalangan sipil yang bersih dari rekam jejak kekerasan. Kekecewaan mereka bukannya tanpa dasar. Banyak warga Suriah yang kehilangan anggota keluarga akibat tindakan brutal milisi dan aparat lama, kini melihat pelaku kekerasan tersebut kembali berkuasa dengan seragam yang berbeda namun tujuan yang sama.

    Pemerintah transisi berdalih bahwa integrasi eks-aparat diperlukan demi menjaga stabilitas dan transisi yang tidak menimbulkan kekacauan. Namun alasan ini justru memperlihatkan bahwa perubahan yang dijanjikan tidak lebih dari sekadar perombakan kosmetik. Dalam kacamata publik, stabilitas tidak bisa dibangun di atas fondasi ketidakadilan.

    Kondisi ini menciptakan kegamangan yang luas di tengah masyarakat. Jika orang-orang yang pernah menindas kini memegang kekuasaan kembali, maka tidak ada jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak akan terulang. Banyak aktivis dan mantan pengungsi menunda kepulangan karena menganggap Suriah baru belum benar-benar berubah.

    Beberapa analis mengungkap bahwa keputusan tersebut bisa jadi merupakan hasil kompromi politik antara elite transisi dan sisa-sisa kekuatan rezim lama. Hal ini umum terjadi dalam konteks pascakonflik, di mana kekuatan lama kerap menuntut jaminan perlindungan dalam bentuk jabatan atau kekuasaan terbatas.

    Namun, kompromi seperti ini justru merusak semangat keadilan transisional yang diidamkan rakyat Suriah. Apabila pelaku pelanggaran masa lalu diberikan panggung baru, maka pesan yang tersirat adalah bahwa kejahatan bisa diampuni tanpa pertanggungjawaban. Ini sangat berbahaya bagi masa depan institusi hukum dan kepercayaan sosial.

    Di sisi lain, minimnya partisipasi kalangan sipil dalam struktur pemerintahan transisi bisa menjadi cermin dari ketakutan elite terhadap perubahan radikal. Rakyat biasa, terutama yang memiliki rekam jejak aktivisme atau netralitas politik, seringkali dianggap sebagai ancaman bagi tatanan kekuasaan lama yang berkamuflase.

    Rasa frustrasi rakyat juga meningkat karena mereka melihat adanya kecenderungan untuk menulis ulang sejarah revolusi. Dengan menempatkan eks-aparat sebagai "pahlawan baru", narasi perjuangan rakyat yang tulus bisa terhapus. Hal ini berbahaya karena menghilangkan pelajaran penting dari masa lalu yang kelam.

    Pakar rekonsiliasi mengingatkan bahwa keberhasilan transisi bergantung pada kejujuran narasi dan pelibatan korban. Mengangkat kembali pelaku tanpa proses pembersihan atau vetting yang jelas hanya akan memperpanjang luka sosial. Banyak negara pascakonflik gagal pulih justru karena tidak menyelesaikan masalah keadilan secara tuntas.

    Protes di Rukn al-Din menjadi tanda bahwa kesabaran rakyat sudah menipis. Mereka yang selama ini diam atau pasrah mulai berani menyuarakan ketidakpuasan. Gelombang ini bisa meluas jika pemerintah tidak segera meninjau ulang kebijakan rekrutmen dan mulai melibatkan tokoh-tokoh bersih dari kalangan sipil.

    Keberanian rakyat menolak kebijakan ini seharusnya dibaca bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai cermin harapan bahwa Suriah pascaperang bisa dibangun dengan fondasi keadilan dan keterbukaan. Rakyat tidak menginginkan balas dendam, mereka hanya ingin ada pemulihan martabat dan penghormatan terhadap nilai-nilai revolusi.

    Jika pemerintah tetap menutup telinga terhadap aspirasi ini, maka yang terjadi bukan transisi menuju demokrasi, tetapi restorasi kekuasaan lama dalam kemasan baru. Hal ini akan sangat membahayakan prospek perdamaian jangka panjang.

    Kesalahan terbesar yang bisa dilakukan pemerintahan transisi adalah menganggap rakyat tidak ingat. Memori kolektif kekejaman masa lalu sangat kuat, dan upaya menormalkan wajah lama hanya akan menimbulkan kebencian baru.

    Banyak pengamat mengingatkan bahwa Suriah berada pada titik kritis. Apabila momentum ini tidak digunakan untuk melakukan pembersihan struktural, maka gelombang konflik sosial bisa muncul kembali dengan wajah berbeda.

    Perlu ditegaskan bahwa keamanan tidak selalu berarti represi. Keamanan sejati lahir dari kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Dan kepercayaan itu hanya bisa dibangun jika rakyat merasa suara mereka didengar, luka mereka diakui, dan masa depan mereka tidak dijalankan oleh tangan-tangan masa lalu yang penuh darah.

    Kebijakan daur ulang aparat lama bisa menjadi batu sandungan paling fatal dalam proses rekonsiliasi. Jika tidak segera dikoreksi, maka Suriah hanya akan mengulangi siklus trauma yang selama ini hendak diputus.

    Pemerintah harus menyadari bahwa rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi menghadirkannya dengan jujur agar tidak terulang. Satu-satunya cara agar rakyat percaya pada masa depan adalah dengan memastikan bahwa masa lalu tidak lagi menjadi fondasi kekuasaan.

    Protes yang terjadi adalah alarm awal dari rasa frustrasi yang terpendam. Bila alarm ini tidak direspons dengan reformasi nyata, maka Suriah akan kembali ke titik awal, di mana rakyat merasa tidak punya tempat dalam negaranya sendiri.

    Dibuat oleh AI

    No comments:

    Post a Comment

    loading...

    Jepang

    Belanda

    Spanyol