Sistem politik Irak adalah republik parlementer federal, demokratis, dan Islami. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri dan Dewan Menteri, sementara Presiden Irak memegang kekuasaan sebagai kepala negara. Irak menganut sistem multipartai, dengan Majelis Perwakilan (Parlemen) yang memegang kekuasaan legislatif. Perdana Menteri saat ini, Mohammed Shia' al-Sudani, merupakan tokoh dari Gerakan Furatayn, yang sebelumnya berafiliasi dengan Partai Dakwah Islam.
Parlemen Irak memiliki total 329 kursi yang diperebutkan oleh berbagai koalisi dan partai. Meskipun ada banyak partai yang berpartisipasi dalam pemilihan umum, jumlah partai yang benar-benar mendapatkan kursi di parlemen bervariasi setiap periode, sering kali membentuk koalisi besar untuk mencapai mayoritas. Beberapa pemilihan terakhir menunjukkan puluhan partai berhasil memperoleh perwakilan, sementara jumlah partai yang tidak mendapatkan kursi jauh lebih banyak, mencerminkan lanskap politik yang sangat terfragmentasi.
Dari wilayah Kurdistan Irak, beberapa partai utama yang konsisten mendapatkan kursi di parlemen federal Irak adalah Partai Demokrat Kurdistan (KDP) dan Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK). KDP, dipimpin oleh klan Barzani, dan PUK, secara historis terkait dengan klan Talabani, adalah dua kekuatan politik dominan di wilayah Kurdistan dan seringkali membentuk aliansi atau berkompetisi sengit. Selain itu, ada juga partai-partai Kurdi lain seperti Gerakan untuk Perubahan (Gorran), Persatuan Islam Kurdistan, dan Partai Komunis Kurdistan yang juga bisa mendapatkan beberapa kursi.
Di tingkat lokal dalam wilayah Kurdistan Irak, ada lebih dari dua belas partai politik yang terdaftar dan aktif. Namun, seperti di tingkat federal, dominasi politik sebagian besar berada di tangan KDP dan PUK. Partai Demokrat Kurdistan (KDP) saat ini memimpin di wilayah Kurdistan Irak, menjadi kekuatan terbesar dalam Parlemen Regional Kurdistan. Parlemen regional ini memiliki 111 kursi, tempat KDP sering kali memegang mayoritas atau menjadi tulang punggung koalisi pemerintahan.
Pemerintah Irak selama ini harus menavigasi jalur yang rumit. Di satu sisi, Baghdad berusaha mempertahankan hubungan politik yang baik dengan tetangga mereka, Iran, dan juga dengan sekutu-sekutu Teheran di dalam Irak. Di sisi lain, Irak juga berupaya menjaga hubungan keamanan yang krusial dengan Amerika Serikat. Keseimbangan ini menjadi tantangan konstan di tengah gejolak regional.
Tidak mengherankan, Baghdad dengan cepat menyambut perjanjian gencatan senjata Israel-Iran yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada 23 Juni. Kementerian Luar Negeri Irak mengeluarkan pernyataan yang menyoroti perjanjian tersebut sebagai "langkah positif untuk mengurangi eskalasi dan memperkuat stabilitas." Pernyataan ini, meskipun secara eksplisit merujuk pada de-eskalasi dan stabilitas regional, juga dapat diinterpretasikan berlaku untuk Irak itu sendiri.
Interpretasi ini muncul karena pemerintah di Baghdad terus berupaya mengendalikan milisi-milisi pro-Iran yang beroperasi di wilayahnya, yang seringkali menjadi sumber ketidakstabilan. Pada saat yang sama, Irak juga berusaha keras untuk menanggulangi tantangan ekonomi yang timbul akibat konflik Israel-Iran yang berlarut-larut. Dampak ekonomi perang tersebut dapat memukul keras Irak, terutama mengingat ketergantungannya pada ekspor minyak.
Selain itu, konflik abadi dengan Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) di Erbil juga menjadi faktor ketidakpastian. Perselisihan mengenai pembagian pendapatan minyak, wilayah sengketa, dan otonomi politik terus-menerus menguji persatuan federal Irak. KRG, dengan otonomi yang cukup luas, seringkali memiliki agenda yang berbeda dari Baghdad, menciptakan ketegangan yang memerlukan penanganan diplomatik yang cermat.
Perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Iran, jika benar-benar diterapkan dan dihormati, diharapkan dapat memberikan ruang bernapas bagi Irak. Lingkungan regional yang lebih tenang akan memungkinkan Baghdad untuk lebih fokus pada masalah internalnya, termasuk upaya rekonstruksi pasca-konflik dan reformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan. Stabilitas regional adalah prasyarat penting bagi stabilitas Irak.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa stabilitas di Irak sangat rentan terhadap dinamika kekuatan eksternal dan perpecahan internal. Meskipun ada harapan dari gencatan senjata regional, tantangan fundamental sistem politik Irak, termasuk fragmentasi partai, pengaruh milisi, dan ketegangan pusat-daerah, tetap menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Sudani. Jalan menuju Irak yang sepenuhnya stabil masih panjang dan berliku.
Oleh karena itu, peran kepemimpinan Perdana Menteri Sudani akan sangat krusial dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan dan kekuatan yang tarik-menarik. Kemampuannya untuk membangun konsensus di antara faksi-faksi politik yang beragam, serta mengelola hubungan yang kompleks dengan Iran dan Amerika Serikat, akan menentukan arah masa depan Irak. Keseimbangan ini adalah kunci untuk menghindari Irak terjerumus kembali ke dalam kekacauan yang lebih besar.
Masa depan Irak akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah di Baghdad dapat memanfaatkan momen-momen de-eskalasi regional ini untuk memperkuat kohesi internal dan menegaskan kedaulatan nasionalnya. Hanya dengan fondasi yang kuat di dalam negeri, Irak dapat benar-benar menjadi aktor yang stabil di panggung regional dan internasional.
Perhatian akan tetap tertuju pada Baghdad, apakah perjanjian regional ini akan benar-benar membawa dampak positif jangka panjang bagi keamanan dan stabilitas Irak yang rapuh, ataukah hanya akan menjadi jeda sementara sebelum badai geopolitik berikutnya tiba. Semua pihak berharap agar langkah ini menjadi awal menuju era yang lebih damai bagi bangsa yang telah lama menderita ini.
No comments:
Post a Comment