Eritrea, negara kecil di Tanduk Afrika, hingga kini tetap menjadi salah satu negara paling tertutup dan represif di dunia. Sejak merdeka dari Ethiopia pada 1991, Eritrea tidak pernah menggelar pemilu nasional, dan seluruh kekuasaan politik tetap berada di tangan Presiden Isaias Afwerki. Selama lebih dari tiga dekade, tak ada partai oposisi legal, tidak ada parlemen aktif, dan bahkan konstitusi yang pernah disusun pun tak pernah diimplementasikan.
Isaias Afwerki, yang awalnya dielu-elukan sebagai pemimpin revolusi kemerdekaan, perlahan membangun sistem politik otoriter yang total. Tidak ada ruang bagi pers bebas, organisasi masyarakat sipil, apalagi partai politik alternatif. Pemerintahannya dikenal sangat paranoid terhadap segala bentuk kritik atau perbedaan pandangan, bahkan dari mantan sekutu revolusionernya sendiri.
Upaya untuk menyelenggarakan pemilu sempat dibicarakan pada awal kemerdekaan, dan sebuah konstitusi pun disusun oleh pakar hukum terkemuka Eritrea, Bereket Habte Selassie. Namun, naskah konstitusi itu tak pernah diberlakukan. Sejak itu, Eritrea menjadi negara satu partai di bawah Front Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (PFDJ), partai bentukan Afwerki yang hingga kini menjadi satu-satunya organisasi politik legal.
Pada 2001, ketegangan sempat muncul ketika 15 pejabat tinggi Eritrea yang dikenal sebagai "G-15" menerbitkan surat terbuka meminta diadakannya pemilu dan reformasi pemerintahan. Respons pemerintah amat keras. Sebelas orang dari mereka ditangkap tanpa proses hukum dan hingga kini tak diketahui nasibnya. Kejadian itu menjadi sinyal bahwa Eritrea tidak akan mengenal pemilu dalam waktu dekat.
Kondisi di Eritrea kini ibarat negara barak militer permanen. Semua warga negara wajib menjalani wajib militer tanpa batas waktu, dengan alasan pertahanan negara. Banyak pemuda Eritrea terpaksa melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari wajib militer seumur hidup ini, yang menurut laporan PBB kerap diwarnai kerja paksa, penyiksaan, dan pelanggaran HAM berat.
Lebih dari itu, Eritrea juga dikenal rutin terlibat dalam konflik di kawasan, mulai dari perang dengan Ethiopia, intervensi di konflik Tigray, hingga dukungan bagi salah satu pihak dalam perang sipil Sudan. Politik luar negeri Eritrea sepenuhnya berorientasi militer, menjadikan negara ini selalu dalam kondisi waspada perang, dan masyarakatnya dikekang di bawah dalih keamanan nasional.
Dalam kehidupan sehari-hari, Eritrea nyaris tanpa institusi independen. Media sepenuhnya dikuasai pemerintah, organisasi agama diawasi ketat, dan lembaga pendidikan tunduk di bawah kendali politik. Siapa pun yang mencoba mengkritik Isaias Afwerki, baik rakyat biasa maupun pejabat senior, akan menghadapi ancaman penangkapan sewenang-wenang.
Laporan PBB dan organisasi HAM internasional rutin menyebut Eritrea sebagai salah satu negara dengan catatan pelanggaran HAM terburuk di dunia. Pada 2023, PBB menyoroti perlakuan diskriminatif terhadap komunitas etnis Afar di wilayah pesisir Eritrea, yang selama puluhan tahun menjadi korban pengusiran, penahanan, hingga kekerasan negara.
Isaias Afwerki membangun kultus individu yang kuat di Eritrea. Poster-poster bergambar dirinya terpampang di ruang publik, pidato-pidatonya disiarkan tanpa henti, dan narasi tentang perannya sebagai "bapak kemerdekaan" terus digaungkan. Semua ini untuk mempertahankan legitimasi tanpa pemilu di mata rakyat yang hidup dalam ketakutan.
Eritrea secara resmi menyebut dirinya negara republik, namun dalam praktiknya jauh dari prinsip republik modern. Tidak ada pemilihan presiden, tidak ada wakil rakyat, dan semua keputusan politik bersumber langsung dari istana presiden di Asmara. Bahkan, jabatan presiden yang di negara lain memiliki batas periode, di Eritrea dijalankan seumur hidup.
Ketika negara-negara Afrika lain mulai membuka ruang demokrasi pasca-era kolonialisme, Eritrea justru memilih jalur isolasi politik. Negara ini menolak berbagai upaya mediasi internasional yang mencoba mendorong reformasi politik dan pelaksanaan pemilu, dengan alasan menjaga kedaulatan nasional dari intervensi asing.
Isaias secara rutin menuduh negara-negara Barat berusaha merongrong stabilitas Eritrea. Retorika anti-imperialisme menjadi alat legitimasi kekuasaan absolutnya. Akibatnya, Eritrea nyaris tak memiliki hubungan diplomatik yang sehat dengan banyak negara tetangga maupun komunitas internasional.
Secara ekonomi, Eritrea mengalami stagnasi berkepanjangan. Potensi sumber daya alamnya belum berkembang maksimal akibat sanksi internasional dan kebijakan tertutup pemerintah. Sementara itu, diaspora Eritrea di Eropa dan Timur Tengah menjadi sumber devisa utama melalui remitansi untuk keluarga mereka di dalam negeri.
Pendidikan dan layanan kesehatan di Eritrea pun sangat terbatas. Laporan UNICEF mencatat angka putus sekolah tinggi dan minimnya akses layanan kesehatan dasar. Semua anggaran negara lebih banyak dialihkan ke sektor militer dibanding kesejahteraan rakyat.
Dalam situasi seperti ini, prospek pemilu nasional di Eritrea nyaris mustahil. Tidak ada kerangka hukum, lembaga penyelenggara, ataupun partai politik selain PFDJ. Bahkan, masyarakat Eritrea pun tidak pernah diperkenalkan dengan praktik politik pemilu yang sehat selama lebih dari 30 tahun.
Sejumlah kelompok diaspora Eritrea di Eropa dan Amerika Serikat terus menyerukan tekanan internasional agar Eritrea menggelar pemilu dan membebaskan tahanan politik. Namun, pemerintah Asmara tetap bergeming, dan selama Isaias Afwerki masih berkuasa, Eritrea tampaknya akan terus menjadi negara tanpa pemilu.
Masa depan Eritrea masih gelap. Tanpa perubahan politik signifikan atau transisi kekuasaan, rakyat Eritrea dipastikan akan terus hidup dalam ketakutan, tanpa suara, tanpa kebebasan, dan tanpa hak menentukan nasibnya sendiri lewat pemilu yang adil dan terbuka.
No comments:
Post a Comment