Operasi militer Israel terhadap lawan-lawannya sering kali dilakukan tanpa mengindahkan batas-batas hukum internasional. Salah satu contoh paling mencolok adalah upaya mereka untuk membunuh Presiden Irak Saddam Hussein melalui operasi rahasia yang dikenal sebagai Operasi Bramble Bush pada tahun 1992. Meski akhirnya gagal, rencana itu menunjukkan kecenderungan Israel untuk mengeliminasi kepala negara asing secara sepihak. Hal ini menjadi preseden mengkhawatirkan tentang bagaimana sebuah negara dapat menjalankan kebijakan luar negeri melalui kekerasan, tanpa ada sanksi nyata dari tatanan hukum global.
Setelah Perang Teluk 1991, meski tidak terlibat langsung dalam konflik, Israel menganggap Saddam sebagai ancaman besar karena serangan rudal Scud ke wilayahnya. Rencana pembunuhan disusun oleh Mossad bersama unit komando elit Sayeret Matkal. Targetnya adalah sebuah pemakaman di Tikrit, kota kelahiran Saddam, di mana ia diperkirakan hadir. Operasi itu dirancang dengan ketat dan melibatkan penyamaran serta penyusupan ke jantung Irak. Namun, latihan terakhir berakhir tragis ketika rudal sungguhan ditembakkan secara tidak sengaja, menewaskan lima prajurit Israel sendiri.
Meskipun kegagalan itu membuat operasi dibatalkan, namun tidak mengubah pola perilaku Israel di masa mendatang. Beberapa dekade setelahnya, Israel tetap menunjukkan perilaku serupa: membunuh tokoh-tokoh negara asing, menyerang wilayah kedaulatan negara lain, dan melakukan sabotase dengan klaim “keamanan nasional” sebagai pembenaran. Pada 2020, ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh tewas dibunuh, diduga kuat oleh Mossad. Sebelumnya, sejumlah insinyur, komandan militer, dan ilmuwan lainnya di Iran, Suriah, dan Lebanon juga menjadi korban operasi bayangan Israel.
Tindakan semacam ini tidak pernah melalui proses hukum internasional atau otoritas Dewan Keamanan PBB. Tidak ada bukti pembentukan pengadilan internasional atau forum penyelesaian sengketa untuk menilai legalitas dari operasi-operasi tersebut. Keberhasilan Israel dalam menghindari sanksi atas serangan ke wilayah asing, seperti pengeboman situs nuklir di Suriah tahun 2007 dan pembunuhan di tanah Eropa atau Asia Barat, semakin memperkuat persepsi bahwa ada pembiaran sistemik dari tatanan hukum dunia.
Kini, dalam eskalasi terbaru dengan Iran, Israel bahkan secara terbuka melancarkan serangan udara presisi ke jantung instalasi strategis Iran dan membunuh tokoh-tokoh penting seperti Hossein Salami dan Amir Ali Hajizadeh. Ini bukan lagi operasi bayangan atau sabotase rahasia, melainkan kampanye militer terbuka yang menyasar pejabat tinggi negara lain. Bahkan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Iran adalah ancaman eksistensial dan tidak menutup kemungkinan menargetkan langsung Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Apa yang sebelumnya dilakukan diam-diam, kini dipertontonkan secara terang-terangan. Dunia menyaksikan bagaimana satu negara dapat melampaui hukum dan menyerang simbol negara lain tanpa ada proses hukum atau pengadilan internasional. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang validitas dan fungsi hukum internasional saat ini: apakah hukum itu hanya berlaku bagi negara-negara lemah? Dan apakah negara kuat bebas melanggar hukum dengan alasan keamanan?
Akar dari semua ini adalah pembiaran. Tidak ada sanksi berarti yang dijatuhkan oleh komunitas internasional ketika Israel membom fasilitas nuklir negara lain, atau membunuh pejabat tinggi luar negeri di tanah asing. Bahkan sekutu-sekutu Barat kerap memberikan pembenaran atas tindakan tersebut, meski sama sekali bertentangan dengan Piagam PBB dan prinsip kedaulatan negara.
Analisis ini memperjelas bahwa tindakan Israel bukan hanya soal pertahanan, tetapi bentuk biadab dari “politik kekuasaan” yang mengabaikan norma, hukum, dan moralitas internasional. Ketika pembunuhan seorang presiden, ilmuwan, atau komandan militer dianggap sah hanya karena berasal dari negara “lawan,” maka batas antara legalitas dan kekerasan telah benar-benar runtuh.
Sebagai akibatnya, dunia menjadi lebih tidak stabil. Negara-negara lain mulai meniru pola ini. Operasi-operasi rahasia, sabotase lintas negara, dan pembunuhan target menjadi alat baru diplomasi kekerasan. Ini membahayakan tidak hanya kawasan Timur Tengah, tetapi juga stabilitas global. Tak ada lagi jaminan bahwa batas negara dan hukum internasional akan dihormati, jika pelanggaran semacam itu terus didiamkan.
Jika situasi seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin negara-negara yang merasa terancam akan mengambil jalan yang sama: membentuk jaringan pembunuh rahasia, menggelar operasi di luar negeri, dan menyasar tokoh asing tanpa proses hukum. Ini adalah awal dari tatanan dunia yang tidak beradab, di mana kekuatan menggantikan hukum, dan peluru menjadi alat diplomasi.
Operasi Bramble Bush adalah salah satu contoh kegagalan yang menyadarkan Israel, namun tidak mengubah niat. Justru dari kegagalan itu, Israel belajar dan menyempurnakan taktiknya. Kini, operasi-operasi itu lebih senyap, lebih presisi, dan bahkan lebih terang-terangan tanpa rasa takut akan sanksi. Dunia sedang menyaksikan kemunduran moral dalam hubungan internasional.
Yang menyedihkan adalah bahwa semua ini terjadi karena tidak adanya mekanisme penegakan hukum internasional yang tegas dan adil. Dewan Keamanan PBB kerap macet oleh veto dan tarik menarik kepentingan. Mahkamah Internasional tak berdaya jika negara pelaku tak mengaku yurisdiksi. Di tengah kekosongan inilah, kekerasan menjadi bahasa diplomasi baru.
Jika komunitas internasional ingin mempertahankan tata dunia yang beradab dan berdasarkan hukum, maka pelanggaran-pelanggaran seperti ini harus ditindak tegas. Tanpa itu, tidak ada jaminan bahwa yang terjadi di Irak, Suriah, atau Iran tidak akan menyebar ke negara lain. Dan jika hukum hanya berlaku untuk yang lemah, maka kekacauan adalah masa depan dunia.
No comments:
Post a Comment