• Breaking News

    Friday, June 27, 2025

    Warga Afar dan Ambisi Geopolitik Ethiopia



    Selama lebih dari tiga dekade, komunitas Afar di pesisir Laut Merah, Eritrea, terus berjuang melawan penindasan brutal dari rezim Presiden Isaias Afwerki. Wilayah tradisional mereka, Dankalia, yang membentang sepanjang pesisir Laut Merah, mengalami perampasan hak, pemaksaan disarmament, wajib militer tanpa batas waktu, hingga penggusuran paksa yang menghancurkan kehidupan komunitas nelayan. Pemerintah Eritrea membagi tanah Afar ke dalam dua wilayah administratif, menghilangkan otonomi adat dan merampas akses komunitas atas tanah leluhur mereka.

    Sejak 1990-an, tentara pemerintah Eritrea secara paksa menyita senjata, ternak, dan merekrut pemuda Afar untuk dinas militer wajib yang tak mengenal batas waktu. Banyak yang melarikan diri ke Ethiopia, sementara yang tertangkap ditahan, disiksa, atau dipaksa bertempur di berbagai konflik regional. Puncaknya, rezim Isaias menyewakan pelabuhan strategis Assab kepada Uni Emirat Arab selama 30 tahun, memaksa ribuan nelayan Afar kehilangan mata pencaharian mereka.

    Keputusan Eritrea menyerahkan kendali Assab kepada militer UEA tak hanya memicu kemarahan Afar, tapi juga menciptakan tragedi kemanusiaan. Lebih dari tujuh kali serangan udara UEA di Laut Merah menewaskan dan melukai puluhan warga sipil Afar. Tindakan ini dilakukan dengan restu pemerintah Eritrea, memperparah luka sejarah di tengah komunitas Afar yang sudah lama dipinggirkan.

    PBB akhirnya turun tangan pada 2015 melalui laporan setebal 484 halaman, yang mengungkap praktik pembersihan etnis terhadap suku Afar dan Kunama oleh pemerintah Eritrea sejak kemerdekaan. Laporan itu menuduh Eritrea melakukan pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, pengusiran massal, dan perampasan tanah yang sistematis terhadap suku-suku tersebut.

    Di tengah represi itu, kelompok-kelompok oposisi Eritrea dinilai lemah dan terfragmentasi. Beroperasi dari Sudan dan Ethiopia, mereka gagal menyatukan kekuatan selama tiga dekade. Ketiadaan visi bersama dan konflik internal membuat upaya menggulingkan rezim di Asmara nyaris tak membuahkan hasil. Upaya terbaru pun kembali kandas akibat ketidakpercayaan antarkelompok etnis dan politik.

    Situasi makin rumit ketika Ethiopia di bawah Perdana Menteri Abiy Ahmed pada 2023 menyatakan pentingnya akses ke Laut Merah demi kelangsungan hidup negaranya. Rencana Ethiopia untuk menguasai wilayah Assab menimbulkan kecurigaan luas, termasuk dari komunitas Afar yang khawatir tanah mereka kembali diperebutkan tanpa mempertimbangkan hak adat dan sejarah panjang mereka di kawasan tersebut.

    Sejarah mencatat, suku Afar tidak pernah tunduk di bawah satu kekuasaan tunggal dalam satu abad terakhir. Wilayah mereka dikelola oleh beragam konfederasi klan dan kesultanan yang saling menghormati batas kekuasaan. Kini, ancaman pembagian wilayah sekali lagi mengintai, terutama setelah Assab kembali diperebutkan sebagai akses strategis menuju Laut Merah.

    Kekhawatiran itu beralasan karena sekitar 70 persen garis pantai Eritrea di Laut Merah adalah tanah adat suku Afar. Ambisi Ethiopia memperluas pengaruh ke wilayah pesisir dinilai menghidupkan kembali trauma lama komunitas ini, yang sebelumnya kehilangan banyak wilayah saat Eritrea memproklamirkan kemerdekaan.

    Meski memiliki ikatan kekerabatan lintas batas, warga Afar menolak dijadikan alat konflik regional. Bagi mereka, konflik antara elit Tigrinya Eritrea dan Ethiopia hanya meninggalkan penderitaan bagi komunitas pesisir. Mereka menuntut hak menentukan nasib sendiri di tanah leluhur tanpa harus tunduk pada kekuasaan eksternal.

    Di sisi lain, beberapa gerakan oposisi Eritrea seperti Brged Nehamudu, yang disebut-sebut sebagai Revolusi Biru, justru kehilangan kepercayaan dari kelompok Afar. Gerakan ini dituding terlalu dekat dengan kelompok pemberontak Tigray dan dianggap mengabaikan penderitaan masyarakat Afar di pesisir Laut Merah.

    Bagi komunitas Afar, kedaulatan atas tanah adat mereka jauh lebih penting ketimbang sekadar slogan politik tentang akses laut. Mereka menghendaki otonomi nyata untuk mengelola sumber daya dan memulihkan identitas budaya yang terus ditekan oleh pemerintah Asmara.

    Kini, upaya menyatukan berbagai faksi Afar di pengasingan tengah digiatkan. Sejumlah tokoh dan elite diaspora bekerja merancang forum persatuan, guna membentuk kekuatan politik dan militer yang solid demi memperjuangkan hak-hak komunitas pesisir yang selama ini dibungkam.

    Di sisi lain, pemerintah Ethiopia dinilai harus berhati-hati memainkan isu Laut Merah. Jika hanya mengejar kepentingan strategis tanpa mengakui hak masyarakat adat, itu hanya akan memperdalam ketegangan dan memicu konflik baru di kawasan yang sudah rapuh.

    Para pegiat HAM menyerukan agar regional dan komunitas internasional memberi perhatian khusus pada kondisi masyarakat Afar, termasuk ribuan pengungsi mereka yang kini hidup dalam kondisi memprihatinkan di kamp-kamp pengungsian di Ethiopia dan Djibouti.

    Keterlibatan komunitas internasional tak boleh berhenti pada urusan geopolitik dan akses jalur perdagangan global semata. PBB dan Uni Afrika harus turut mengawasi pergerakan militer Eritrea serta memberi sanksi tegas atas pelanggaran HAM sistematis yang masih terjadi hingga kini.

    Komunitas Afar berharap, momentum ketegangan Laut Merah dapat dijadikan titik balik untuk memperjuangkan hak mereka, bukan sekadar jadi alat tawar-menawar elite politik kawasan. Bagi mereka, tanah pesisir bukan sekadar jalur dagang, tetapi warisan leluhur yang harus dijaga.

    Jika kekuatan Afar bisa dipersatukan, bukan tak mungkin sebuah kekuatan oposisi yang berbasis etnis dan komunitas lokal akan menjadi faktor penentu dalam menentukan peta politik Eritrea pasca-Isaias. Semua pihak di kawasan diingatkan agar tak mengulangi kesalahan masa lalu yang mengabaikan suara rakyat pesisir.

    Kini, lebih dari sekadar konflik geopolitik, isu Laut Merah adalah soal harga diri, sejarah, dan masa depan komunitas yang selama ini hidup dalam bayang-bayang rezim otoriter. Dan bagi Afar Laut Merah, waktunya telah tiba untuk bicara dan menentukan nasibnya sendiri.

    No comments:

    Post a Comment

    loading...

    Jepang

    Belanda

    Spanyol