Pertemuan antara Otoritas Energi dari Pemerintahan Otonom Demokratik Suriah Utara dan Timur (AANES) dengan Kementerian Energi Pemerintahan Transisi Suriah menandai perkembangan baru dalam lanskap politik dan ekonomi negara yang telah dilanda perang selama lebih dari satu dekade. Pertemuan ini berlangsung di Aleppo dan menghasilkan kesepahaman untuk memperkuat kerja sama di sektor energi, terutama dalam mengurangi tekanan terhadap Bendungan Efrat yang menjadi sumber vital air dan listrik di Suriah bagian utara.
Keberadaan AANES sebagai entitas yang masih aktif dan memiliki struktur birokrasi jelas menegaskan bahwa pemerintahan ini belum dibubarkan, sekaligus menunjukkan adanya dua sistem pemerintahan yang beroperasi secara paralel di Suriah. Wilayah-wilayah seperti Hasakah, sebagian Raqqa, dan Deir Ezzour, yang dikuasai AANES, masih menjalankan otoritasnya sendiri dengan anggaran dan kebijakan terpisah dari Damaskus.
Kondisi ini menciptakan realitas bahwa Suriah kini memiliki dua ekonomi yang berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah pusat di Damaskus mengelola wilayah barat dan selatan, sementara AANES mengatur sumber daya, ekonomi lokal, dan layanan publik di wilayah timur laut. Dalam konteks kerja sama energi, hal ini bisa dipandang sebagai langkah pragmatis untuk menjaga stabilitas pasokan listrik dan air di wilayah yang saling bergantung satu sama lain.
Namun di sisi lain, dualisme pemerintahan ini memperumit pemulihan ekonomi nasional. Dengan tidak adanya sistem fiskal tunggal, perencanaan anggaran negara menjadi tidak sinkron. Investasi internasional yang ingin masuk ke Suriah harus memilih antara Damaskus atau AANES, dan ini menciptakan ketidakpastian hukum serta administratif.
Di bidang positifnya, keberadaan dua pemerintahan justru menciptakan semacam kompetisi pembangunan dan efisiensi. AANES, dengan struktur administratifnya yang bersifat desentralistik, telah mampu mengelola sumber daya secara lokal dan menyediakan layanan dasar kepada warga di tengah embargo dan tekanan ekonomi. Ini menjadi model alternatif bagi wilayah-wilayah Suriah lain yang selama ini terabaikan karena konflik.
Bendungan Efrat menjadi contoh konkret bagaimana dua sistem bisa bekerja sama meskipun secara politik tidak sepenuhnya saling mengakui. Dam ini penting bagi irigasi dan air minum di Aleppo dan wilayah sekitarnya, termasuk untuk pertanian yang menopang ekonomi lokal. Maka, kesepakatan untuk menjaga keberlanjutan dam ini menjadi kebutuhan mendesak yang melampaui perbedaan politik.
Namun kerja sama teknis seperti ini tetap bersifat rapuh. Ketegangan militer atau tekanan dari pihak luar bisa sewaktu-waktu menggagalkan mekanisme koordinasi yang telah disepakati. Apalagi, AANES masih bergantung pada keberadaan militer dari Koalisi Internasional yang sewaktu-waktu bisa berubah arah.
Dari sisi sosial, keberadaan dua sistem juga menimbulkan kebingungan di kalangan warga, terutama dalam hal mata uang, perpajakan, dan identitas hukum. Warga di wilayah AANES banyak yang menggunakan matabuang asing sementara wilayah lain tetap menggunakan lira Suriah, menyebabkan fluktuasi harga barang dan ketimpangan daya beli.
Pemerintah Transisi yang bermarkas di Damaskus tampaknya juga mulai menyadari bahwa tanpa koordinasi dengan AANES, keberlangsungan hidup jutaan warga di wilayah timur akan terganggu. Hal ini memaksa munculnya komunikasi pragmatis antar kedua belah pihak, meskipun masih terbatas pada isu-isu teknis dan non-politik seperti energi dan air.
Sementara itu, dari sisi AANES, pertemuan ini menjadi cara untuk memperkuat posisi mereka sebagai pemerintahan de facto yang berfungsi, sekaligus memperlihatkan kepada komunitas internasional bahwa mereka mampu mengelola wilayah secara bertanggung jawab dan terorganisir.
Kondisi ini juga membuka kemungkinan munculnya model konfederasi dalam struktur masa depan Suriah, di mana daerah-daerah tertentu diberikan otonomi yang luas di bawah payung nasional yang longgar. Meskipun belum ada kesepakatan politik formal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa realitas semacam ini sedang berlangsung.
Namun jika dibiarkan tanpa resolusi jangka panjang, dua sistem ini justru dapat memperdalam fragmentasi nasional dan memperbesar peluang konflik baru. Kontestasi atas pendapatan minyak, pengelolaan perbatasan, hingga pengaruh asing bisa menjadi titik api baru dalam konflik Suriah, sebagaimana Irak saat konsep federalismenya belum terlalu matang.
Dari sisi ekonomi makro, keberadaan dua APBN yang tidak terkoordinasi juga menghambat pengumpulan data nasional yang akurat. Ini menyulitkan lembaga internasional dalam memberikan bantuan atau merancang program pembangunan jangka panjang yang berbasis pada satu kerangka nasional.
Kendati demikian, kerja sama energi ini bisa menjadi pintu masuk untuk dialog yang lebih luas antara Damaskus dan AANES. Jika komunikasi ini diperluas ke sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi, maka akan terbuka ruang rekonsiliasi dan penyatuan kembali secara bertahap.
Perlu dicatat bahwa keberhasilan model kerja sama ini bergantung pada adanya kemauan politik dari kedua pihak serta jaminan dari aktor regional untuk tidak mengganggu stabilitas wilayah. Tanpa itu, kerja sama hanya akan bersifat insidental dan tidak berkelanjutan.
Selain itu, masyarakat internasional perlu menyesuaikan pendekatan mereka terhadap Suriah. Mengabaikan AANES atau menganggapnya sekadar entitas non-negara justru akan menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok oposisi di luar lingkar politik untuk melakukan agitasi politik.
Dalam konteks ini, penguatan kelembagaan di kedua belah pihak penting untuk menjamin stabilitas layanan publik dan pembangunan infrastruktur. Jika AANES dan Damaskus mampu menunjukkan keberhasilan dalam kolaborasi teknis, maka peluang untuk mengatasi konflik politik juga akan meningkat.
Akhirnya, realitas dua pemerintahan dan dua ekonomi ini adalah konsekuensi dari perang panjang dan lemahnya konsensus nasional. Namun jika ditangani dengan pendekatan inklusif dan bertahap, ia juga bisa menjadi batu loncatan menuju Suriah yang lebih stabil dan terdesentralisasi secara sehat.
No comments:
Post a Comment