Sejumlah analis internasional kerap mengajukan pertanyaan menggelitik: mungkinkah Libya, Irak, dan Suriah menghindari kehancuran jika mereka lebih pandai berdiplomasi? Apakah keterampilan komunikasi politik dengan Barat bisa menyelamatkan nasib negara-negara tersebut dari perang, invasi, dan fragmentasi internal? Pertanyaan itu terus bergema setiap kali sebuah negara di dunia berkembang mulai menghadapi tekanan dari kekuatan global.
Namun sejarah menunjukkan bahwa kehancuran sebuah negara tidak semata disebabkan oleh kesalahan diplomasi. Ada kekuatan besar yang bekerja di balik layar, kekuatan yang mengatur ulang peta geopolitik dunia melalui proyek besar yang disebut “tatanan dunia baru”. Dalam proyek ini, negara-negara yang tidak sejalan dengan arah kekuatan utama dunia akan selalu berada dalam posisi terancam untuk dilumpuhkan, direkayasa konflik internalnya, hingga akhirnya dijatuhkan.
Perang Teluk yang pertama dan kedua membuktikan bahwa jatuhnya Saddam Hussein bukanlah hasil dari isolasi diplomatik semata, melainkan konsekuensi dari peran Irak dalam menghadang agenda global tertentu. Saddam telah menandatangani banyak kesepakatan dagang dan juga pernah menjalin hubungan baik dengan AS. Namun itu tidak cukup untuk menyelamatkannya ketika Irak dinilai sebagai penghalang bagi formasi tatanan baru di Timur Tengah.
Demikian pula dengan Muammar Khadafi di Libya. Pemimpin eksentrik ini sempat membuka pintu bagi Barat, menyerahkan program senjata pemusnah massal, bahkan memberikan konsesi besar dalam kerja sama ekonomi. Namun pada akhirnya, ketika waktunya dianggap tepat oleh kekuatan besar, Libya diguncang perang saudara dan intervensi NATO yang berakhir pada kematian tragis Khadafi di jalanan Sirte.
Suriah di bawah Bashar Al-Assad sempat bertahan lebih lama dari perkiraan. Berkat dukungan militer dan diplomatik dari Rusia dan Iran, ia mampu menghindari kejatuhan total meski sebagian besar wilayah negaranya hancur. Namun, posisi Assad tetap lemah dalam struktur geopolitik baru yang sedang dibentuk pasca-Perang Suriah. Ia bukan lagi simbol kekuasaan mutlak, melainkan bagian dari kompromi kekuatan regional, sebeluk akhirnya lengser juga.
Kini, perhatian dunia tertuju pada Iran, negara besar yang masih bertahan sebagai kekuatan independen dan menolak tekanan dari blok Barat. Namun spekulasi berkembang bahwa Iran telah masuk dalam daftar target berikutnya untuk "direstrukturisasi" melalui tekanan ekonomi, sabotase, hingga intervensi militer terbatas. Bagi banyak pihak, ini bukan soal jika, tapi kapan.
Donald Trump, dalam berbagai pernyataannya, sempat mengindikasikan kemungkinan keterlibatan langsung AS dalam serangan Israel ke Iran. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap Teheran telah mencapai fase yang lebih agresif. Situasi ini mengingatkan pada pola-pola serupa yang dialami oleh Irak dan Libya sebelum benar-benar runtuh.
Istilah “tatanan dunia baru” bukanlah sekadar teori konspirasi. Ia mencerminkan upaya global untuk menciptakan dunia yang lebih terkonsolidasi di bawah kendali segelintir kekuatan besar. Dari Liga Bangsa-Bangsa hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari Bretton Woods hingga G7, semua dirancang sebagai kerangka legal dan politik untuk mengatur arah globalisasi, termasuk siapa yang berhak berkuasa dan siapa yang harus didelegitimasi.
Pasca-Perang Dingin, istilah ini kembali muncul dalam wacana internasional. Presiden Mikhail Gorbachev dan George H. W. Bush menggunakan istilah ini untuk menggambarkan era kerja sama baru. Namun kenyataannya, kerja sama tersebut lebih sering menjadi alat legitimasi dominasi sepihak ketimbang perwujudan keseimbangan sejati.
Dalam struktur ini, negara-negara seperti Iran yang menolak untuk tunduk pada skema global cenderung akan dijadikan target perubahan rezim, baik melalui tekanan ekonomi ekstrem, pembunuhan ilmuwan dan jenderal, maupun penciptaan instabilitas internal melalui proksi. Diplomasi hanya menjadi senjata retoris sementara proses destruksi berjalan di belakang layar.
Jika tatanan global telah memutuskan bahwa sebuah negara harus menjadi “negara gagal”, maka diplomasi, perjanjian, dan bahkan sikap tunduk pun tidak akan mampu menyelamatkannya. Libya telah menyerah, namun dihancurkan. Irak sempat berdialog, namun dihukum. Suriah mencoba bertahan, namun diluluhlantakkan.
Dunia menyaksikan bahwa saat negara-negara ini dilumpuhkan satu per satu, tidak ada satu mekanisme hukum internasional yang mampu mencegahnya. Dewan Keamanan PBB tak lebih dari panggung pertunjukan, karena negara-negara pemilik veto kerap menjadi pelaku utama konflik yang terjadi.
Blokade ekonomi, embargo teknologi, sanksi keuangan, dan kampanye disinformasi adalah bagian dari perang hibrida yang dipakai untuk meruntuhkan negara dari dalam. Sementara kekuatan militer disiapkan untuk menjadi palu godam terakhir. Iran tengah menghadapi fase ini dengan segala risiko dan tekanan yang meningkat setiap hari.
Pelajaran dari Libya dan Irak seharusnya tidak dilihat sebagai kegagalan diplomasi semata, tetapi sebagai bukti bahwa tatanan hukum global telah kehilangan daya cegahnya. Dalam dunia yang semakin multipolar, siapa yang kuat secara militer dan bisa menjaga kedaulatan informasinya, dialah yang punya peluang bertahan.
Iran mungkin sedang menghadapi babak penting dalam sejarahnya. Jika negara ini jatuh, maka pesan yang dikirim ke seluruh dunia sangat jelas: bahwa tidak ada jaminan keamanan dalam sistem global saat ini. Diplomasi tanpa kekuatan adalah ilusi. Dalam tatanan dunia baru yang keras dan pragmatis, hanya negara yang mampu bertahan dalam tekanan multilapis yang akan tetap utuh di peta dunia.
Dibuat oleh AI
No comments:
Post a Comment